Kamis, 13 Oktober 2016

Satu Persatu Membantah Hujjah Nusron Wahid







Bismillah was shalaatu was salaam ‘alaa Rasuulillah.





Di sini saya ingin memberikan komentar tentang apa yang
telah dikatakan oleh Nushran Wahid dalam sebuah program acara salah satu
stasiun televisi.





Pertama: Dia mengatakan: “Yang namanya Al-Quran, yang paling
sah menafsirkan adalah  yang
paling tahu tentang Al-Quran itu sendiri yaitu Allah subhanahu wa ta’ala dan
Rasul. Bukan Majlis ulama Indonesia. Itu adalah ilmu tafsir”





Bantahan:





1- Sebagaimana yang dikatakan oleh Nusron Wahid: “Hanya
Allah dan RasulNya yang mengetahui tentang ayat Al-Quran”.





Maka pertanyaan saya, “Apakah majlis ulama menafsirkan
ayat Al-Quran dengan serampangan tanpa didasari oleh Al-Quran dan Hadits?
Apakah majlis ulama menafsirkan ayat dengan hawa nafsu mereka?”





Justru majlis ulama menafsirkan ayat Al-Quran sesuai
dalil dan atsar. Kita beri contoh tentang “Surat Al-Maidah ayat 51”. Para
majlis ulama menafsirkan ayat sesuai dalil yaitu dari Umar bin Khattab
radhiyallahu anhu yang melarang ummat islam untuk memilih orang kafir untuk
menjadi pemimpin.





Al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkan dalam As-Sunan
Al-Kubra:





عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَمَرَهُ أَنْ يَرْفَعَ إِلَيْهِ مَا أَخَذَ
وَمَا أَعْطَى فِي أَدِيمٍ وَاحِدٍ , وَكَانَ لِأَبِي مُوسَى كَاتِبٌ نَصْرَانِيٌّ
يَرْفَعُ إِلَيْهِ ذَلِكَ , فَعَجِبَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وقَالَ: إِنَّ
هَذَا لَحَافِظٌ , وَقَالَ: إِنَّ لَنَا كِتَابًا فِي الْمَسْجِدِ , وَكَانَ جَاءَ
مِنَ الشَّامِ , فَادْعُهُ فَلْيَقْرَأْ. قَالَ أَبُو مُوسَى: إِنَّهُ لَا
يَسْتَطِيعُ أَنْ يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ. فَقَالَ عُمَرُ أَجُنُبٌ هُوَ؟ قَالَ: لَا
, بَلْ نَصْرَانِيٌّ. قَالَ: فَانْتَهَرَنِي وَضَرَبَ فَخِذِي وَقَالَ:
أَخْرِجْهُ، وَقَرَأَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا
الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ
يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ





“Dari Abu Musa radhiyallahu anhu, bahwasanya Umar
memerintahkannya untuk melaporkan catatan-catatan yang sudah diterima dan yang
sudah diberi dalam satu catatan. Dan Abu Musa memeliki sekretaris yang beragama
Nashrani. Dan dia memberikan laporannya. Maka Umar takjub dan berkata:
‘Sesungguhnya dia adalah orang yang bagus dalam mencatat’. Dan Umar berkata
pula: ‘Sesungguhnya kami memiliki sebuah surat di dalam masjid yang datang dari
Syam. Maka panggil lah dia untuk membacakannya. Maka Abu Musa mengatakan:
Sesungguhnya dia tidak bisa masuk masjid. Maka Umar bertanya: ‘Apa dia lagi
junub?’ Maka Abu Musa mengatakan: ‘Tidak,akan tetapi dia adalah seorang
nashrani’. Maka Umar membentak dan memukul pahaku seraya berkata: ‘Pecat dia!’.
Kemudian Umar membaca ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menjadikan orang-orang yahudi dan nashrani sebagai pemimpin. Sebagian mereka
adalah pemimpin untuk sebagian lainnya. Dan barang siapa dari kalian yang
menjadikan mereka sebagai pemimpin maka sesungguhnya dia termasuk bagian dari
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang yang
dzalim” QS. Al-Maidah: 51” (HR. Baihaqi)






Jelas di sini MUI melarang kaum muslimin untuk memilih
orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan ayat yang ditafsirkan oleh Umar bin
Khattab radhiyallahu anhu. Dan tentunya mustahil bagi Umar untuk menafsirkan
ayat Al-Quran dengan hawa nafsunya. Ingat, tidak ada orang yang mengatakan
‘Umar menafsirkan ayat Al-Quran dengan hawa nafsunya’ kecuali orang-orang
zindiq dan munafik. Terlebih Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah
mentazkiyah Umar untuk menjadi panutan yang harus diikuti oleh seluruh kaum
muslimin. Hudzaifah radhiyallanhu berkata:



كُنَّا
جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي
لَا أَدْرِي مَا بَقَائِي فِيكُمْ، فَاقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي
وَأَشَارَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ





“Kami sedang duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: ‘Sesungguhnya aku tidak tahu berapa
lama lagi aku akan bersama kalian. Maka ikutilah 2 orang setelah ku’. Rasulullah
memberikan isyarat, dua orang itu adalah Abu Bakr dan Umar” (HR. Tirmidzi)





Jadi kalau kita mau selamat, maka ikutilah Umar bin
Khattab yang melarang kita untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin.
Itu sudah harga mati. Itulah wasiat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam.





2- Al-Quran itu
diturunkan untuk dipahami maksudnya, untuk diketahui maknanya, untuk ditabburi
ayat-ayatNya oleh seluruh ummat islam. Dan hal itu semua masuk ke dalam ilmu
tafsir. Dan kita semua dituntut oleh Alllah untuk mempelajarinya.





Allah ta’ala berfirman:





كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ
لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ





“Kitab
(Al-Quran) Kami turunkan kepadamu yang penuh berkah agar mereka semua
mentadabburi ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang memiliki akal mendapatkan
pelajaran” (QS. Shaad: 29)





Lihat, kalau
hanya Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saja yang tahu, maka
apa gunanya Allah menurunkan Al-Quran? Sedangkan Allah sendiri mengatakan
Al-Quran diturunkan agar makna-maknanya diketahui oleh ummat islam.





Dan bahkan Allah
mencela orang yang tidak ingin mengetahui makna Al-Quran. Dan Allah menghina
orang yang tidak ingin memahami tafsir Al-Qur’an. Allah berfirman:





أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ
عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا





“Tidakkah mereka
mentadabburi Al-Quran? Ataukah hati-hati mereka sudah terkunci” (QS.
Muhammad:24)





Jadi, bukan
berarti majlis ulama tidak berhak untuk mengetahui dan memberi tahu tafsiran
yang benar dari ayat Al-Quran Al-Kariim. Karena Allah sendiri yang memerintahkan
ummat islam untuk mengetahui tafsir dari firman-firmanNya.





3- Jadi itulah
artinya ilmu tafsir. Kita mecari tahu apa arti dari sebuah ayat Al-Quran
Al-Karim. Sehingga kita bisa memahami maknanya dan bisa mengambil hukum-hukum
dan hikmah darinya. Bukan sebagaimana yang dikatakan oleh NusronWahid: “Ilmu
tafsir adalah ilmu yang hanya Allah dan Rasulnya yang tahu”.





Mari kita simak
apa kata Imam Az-Zarkasyi rahimahullah. Beliau berkata:



التَّفْسِيرُ
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ فَهْمُ كِتَابِ اللَّهِ الْمُنَزَّلِ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيَانُ مَعَانِيهِ وَاسْتِخْرَاجُ أَحْكَامِهِ
وَحِكَمِهِ





“Tafsir adalah ilmu yang dengannya dapat diketahui apa yang
dimaksud oleh kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu
alaihi wa sallam dan ilmu yang menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan
hukum-hukum dan hikmahnya” (Al-Burhan Fii Uluum Al-Quran 1/13)





Jadi inilah artinya ilmu tafsir bukan sebagaimana yang dikatakan oleh Nusron Wahid.





Kedua: Dia
mengatakan: “Untuk membuktikan apa yang saya sampaikan, saya ingin mengutip
sebuah hadits nabi. Nabi pernah mengatakan:





خير القرون قرني ثم الذين يلونهم ثم
الذين يلونهم ثم الذين يلونهم, يلونهم يلونهم يلونهم





“Sebaik-baiknya masa adalah masaku (pada masa nabi Muhammad),
kemudian masa sahabat, kemudian masa sahabat bani umayyah, setelah itu masa
sahabat bani abbasiyyah, setelah itu masa ulama, ulama, ulama, ulama, ulama,
ulama”





Ini adalah makna derajat kebaikan. Saya ingin bertanya,
sejarah membuktikan pada zaman bani Abbasiyyah (khalifah Abbasiyah ke 16),
sultan Khalifah Al-Mu’tadhid billah pernah mengangkat seorang gubernur. Namanya
Umar bin Yusuf, seorang kristen ta’at. Menjadi gubernur di Al-Anbar Iraq.
Apakah di waktu itu tidak ada surat Al-Maidah 51? Apakah ulama-ulama pada masa
itu kalah shalih dan kalah alim dengan ulama-ulama hari ini?





(Selesai)





Bantahan:





1- Nusron Wahid menyebutkan sebuah hadits untuk
membenarkan apa yang dia inginkan. Akan tetapi di sini saya ingin mengkritik
apa yang dia bawa. Pertama teks haditsnya tidak seperti itu. Teks yang benar
adalah:





خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ
أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ، وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ





“Sebaik-baik zaman manusia adalah zamanku. Kemudian
setelahnya dan kemudian setelahnya. Kemudian akan datang setelahnya kaum-kaum
yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya
mendahului persaksiannya” (HR. Bukhari Muslim)





Jadi yang disebutkan dalam hadits, hanyalah 3 zaman.
Setelah lewatnya ketiga zaman tersebut, maka akan ada zaman yang buruk dan penuh
dengan kedustaan. Dan 3 zaman yang dimaksud oleh Rasulullah adalah zaman
Rasulullah sendiri  bersama para
sahabatnya, kemudian zaman tabiin dan kemudian zaman tabiut tabiin. Hal tersebut
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah ta’ala:





وَالصَّحِيحُ أَنَّ قَرْنَهُ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّحَابَةُ وَالثَّانِي التَّابِعُونَ وَالثَّالِثُ تَابِعُوهُمْ





“Dan yang benar
bahwa zaman nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah zaman para sahabat. Dan yang
kedua adalah zaman Tabi’in dan yang ketiga adalah Zaman Tabiut tabiin” (Syarh Shahih Muslim 16/85)





Jadi hadits ini
adalah hadits yang mentazkiah dan merekomendasikan zaman yang terbaik kondisi
agamanya. Jadi jangan merenovasi dengan menambahkan kata “tsummalladziina
yaluunahum (kemudian setelahnya)” dengan sangat banyak untuk memasukkan zaman yang banyak kerusakan
ke dalam 3 zaman yang direkomendasikan atau ditazkiah oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam.





2- Hadits ini
adalah tazkiyah zaman secara umum bukan tazkiyah untuk afrad (personal)
terlebih sampai menganggap maksum seseorang dengan hadits ini. Bukan itu. Betapa
banyak dari kalangan sahabat yang melakukan kesalahan karena mereka tidak
maksum, maka bagaimana zaman setelah mereka? Maka mereka lebih tidak maksum dan
sangat mungkin berbuat salah. Ya masuk di antaranya adalah Al-Mu’tadhid Billah.
Jadi ini hanyalah tazkiyah zaman secara umum bukan membenarkan perbuatan setiap
person yang masuk ke dalamnya. Terlebih zaman Al-Mu’tadhid billah yang tidak
masuk ke dalam zaman yang ditazkiyah oleh Rasulullah.





3- Anggaplah
memang benar bahwa Al-Mu’tadhid billah mengangkat seorang nashrani menjadi
gubernur, maka perbuatan ini sama sekali tidak ada pengaruhnya karena perbuatan
ini menyelisihi ijma’ ulama yang menyatakan haramnya memilih seorang kafir
menjadi pemimpin.





Imam An-Nawawi
menukil perkataan Al-Qadhi Iyadh:





أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْإِمَامَةَ
لَا تَنْعَقِدُ لِكَافِرٍ وَعَلَى أَنَّهُ لَوْ طَرَأَ عَلَيْهِ الْكُفْرُ انْعَزَلَ





“Para ulama
telah berijma bahwasanya kepemimpinan tidak akan sah terjadi untuk orang yang
kafir. Dan seandainya timbul dari dirinya kekufuran, maka dia harus
dilengserkan” (Syarh Shahih Muslim 12/229)





Ini imam
An-Nawawi yang menukilnya dari Al-Qadhi Iyaadh rahimahumallah.





Bukan hanya itu,
Ibnu Hazm rahimahullah juga mengatakan:





وَاتَّفَقُوا أَن الامامة لَا تجوز لامْرَأَة
وَلَا لكَافِر وَلَا لصبي لم يبلغ وانه لَا يجوز ان يعْقد لمَجْنُون





“Dan para ulama
telah bersepakat bahwasanya kepemimpinan tidak boleh untuk wanita, orang kafir,
dan anak kecil yang belum baligh dan bahwasanya kepemimpinan tidak boleh pula
untuk orang yang gila” (Maraatib Al-Ijmaa’ 1/126)





Maka bagaimana
pun perbuatan seseorang, jika dia menyelisihi ijma’ maka perbuatan itu sama
sekali tidak ada harganya dan tidak berpengaruh, bahkan tidak boleh diamalkan.





4- Ketika Nusron
Wahid membawakan hadits ini, justru dia telah menembak dirinya sendiri.
Mengapa? Karena jelas-jelas Umar radhiyallahu anhu hidup di zaman pertama (yang
mana Rasulullah telah mentazkiah zaman tersebut). Umar telah melarang ummat islam
untuk mengangkat orang kafir menjadi pemimpin.





Sedangkan Umar
telah ditazkiah zamannya oleh Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam. Lantas
bagaimana dengan zamannya Al-Mu’tadhid billah? Mana yang lebih baik? Zamannya
Umar atau Al-Mu’tadidh? Maka itu sama saja dengan senjata makan tuan.
Menggunakan dalil namun menghancurkan argumentasi sendiri.





Ketiga:
Dia mengatakan: “Bukti
kedua, saya ingin mengatakan: 'Dari semua terjemahan ayat Al-Quran, hanya teks
bahasa Indonesia saja yang memaknai bahwa Aulia itu pemimpin. Bahasa Inggris
tidak ada'”.





Bantahan:





1- Tidak perlu
nanggung-nanggung pak dengan mencari makna ayat di terjemahan Al-Quran saja. Silahkan langsung cari artinya di kitab-kitab tafsir Al-Quran dengan sangat lengkap. Cari tafsir Al-Quran bil Quran atau tafsir
Al-Quran Bis Sunnah atau tafsir Al-Quran bi kalaamis shahabah. Silahkan cari di
sana, dan jangan hanya nanggung-nanggung dengan mencukupkan diri pada Al-Quran
terjemahan saja. Itu kalau kita ingin mencari kebenaran. Maka bapak akan
mendapatkan banyak tafsiran bahwa memilih pemimpin kafir adalah haram.





2- Ada banyaknya
makna auliya bukan berarti makna tersebut saling bertentangan. Perlu diketahui,
perbedaan itu ada 2 jenisnya. Saya rasa pak Nusron sudah mempelajari hal ini,
karena katanya dia belajar islam dari para ulama.





Perbedaan ada
dua. Ada khilaf tanawwu’ dan ada pula khilaaf tudhaadh yang saling bertentangan.
Sedangkan perbedaan makna Auliyaa’ adalah khilaaf tanawwu’ yang kesemuanya bisa
diterima dan tidak bertentangan. Jadi apa saja yang terkandung dalam makna Auliya baik itu pemimpin,
atau, pelindung, atau kawan karib, atau wali, maka dari makna itu semua adalah
benar. Dengan artian kita tidak boleh menjadikan seorang kafir menjadi pemimpin,
atau pelindung, atau wali, atau kawan kerabat, dll. Karena Al-Quran dan hadits
adalah jawami’ul kalim. Karena semua makna itu benar. Ini adalah khilaaf
tanawwu’ dan bukan khilaf tudhaad.  





Jadi perbedaan
makna wali yang ada di dalam surat Al-Maidah ayat 51, tidak perlu diributkan.
Karena semua makna itu benar.




Mungkin itu saja
komentar dan bantahan saya terhadap perkataan Nusron Wahid. Semoga itu sudah
dan cukup mewakili. Wa shallallahu alaa nabiyyinaa Muhammad.








-----



Ingin pahala jariyah yang terus mengalir? Mari bantu dakwah Kajian Al-Amiry untuk menyebarkan dakwah sunnah dan dakwah islam. Kirim donasi anda ke salah satu rekening di bawah ini:



- Bank BCA No Rek 3000573069 a/n: Muhammad Abdurrahman


- Bank BNI No Rek 0360066890 a/n: Muhammad Abdurrahman





Donasi yang  diberikan digunakan untuk kelancaran dakwah kita bersama. Dan dukungan anda insya Allah akan semakin memperkuat dakwah sunnah di atas bumi Allah.





Nb: Mohon lakukan konfirmasi ke email: webkajianalamiry@gmail.com atau ke nomor 081330586073 jika bapak/ibu telah mengirimkan donasi.  





Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Satu Persatu Membantah Hujjah Nusron Wahid

0 komentar:

Posting Komentar