Dalam sebuah
artikel yang dipublikasi oleh ngaji.web.id dengan judul “Dalil Bolehnya Tarawih
Super Ngebut Walau Tanpa Thuma'ninah” memiliki banyak keganjalan dalam
pemaparan hal tersebut. Dan insya Allah pada kesempatan ini kita akan
membahasnya.
1- Judul dan
isi artikel sama sekali tidak nyambung. Judul artikel adalah “Dalil Bolehnya
Tarawih Super Ngebut Walau Tanpa Thuma'ninah”, ternyata isi artikel tersebut sama
sekali tidak ada dalilnya mengenai kebolehan shalat tanpa tuma’ninah, yang ada
hanya perkataan ulama saja.
Dalil itu
adalah firman Allah, sabda Rasulullah, perkataan para sahabat, dan ijma’ serta
qiyas. Adapun perkataan ulama maka sama sekali itu bukanlah dalil.
أقوال العلماء لا
يستدل بها وإنما يستدل لها
“Perkataan
para ulama bukanlah dalil, melainkan perkataan para membutuhkan dalil”
Mengapa
demikian? Karena para ulama hanyalah mujtahid dan bukan yang membuat syariat.
Sehingga ulama itu bukanlah dalil karena bisa salah dan bisa benar.
العلماء مجتهدون
لا مشرعون
“Ulama
itu hanyalah mujtahid (bisa salah dan bisa benar) dan bukan yang membuat
syariat ”
Hal tersebut
sebagaimana yang dinyatakan dengan tegas sendiri oleh para imam, seperti imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.
Abu Hanifah rahimahullah
berkata:
لا يحل لأحد أن يأخذ
بقولنا ؛ ما لم يعلم من أين أخذناه
“Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil perkataan
kami sedangkan dia tidak tahu dimana kami mengambilnya” (Al-Intifa’ Fii Fadhail
Ats-Tsalatsah Al-Aimmah Al-Fuqaha hal. 145)
Imam Malik rahimahullah berkata:
إنما أنا بشر أخطئ
وأصيب ، فانظروا في رأيي ؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة ؛ فخذوه ، وكل ما لم يوافق الكتاب
والسنة ؛ فاتركوه
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, aku bisa salah dan aku
bisa benar. Maka lihatlah seluruh pendapatku. Maka apa saja yang sesuai dengan
Al-Quran dan sunnah maka ambillah, dan apa saja yang tidak sesuai dengan
Al-Quran dan sunnah maka tinggalkanlah” (Al-Jami’
2/32)
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
إذا وجدتم في كتابي
خلاف سنة رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛ فقولوا بسنة رسول الله صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَدَعُوا ما قلت
“Jika kalian mendapati dalam kitabku yang menyelesihi sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka ambillah sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dan tinggalkanlah perkataanku”
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
لا تقلدني ، ولا تقلد
مالكاً ، ولا الشافعي ، ولا الأوزاعي ، ولا الثوري وخذ من حيث أخذوا
“Jangan ikuti aku, dan jangan pula ikuti imam malik, maupun imam
syafi’i, maupun imam ats-tsauri, akan tetapi ambillah dari mana mereka
mengambil (Al-Quran dan sunnah)” (Al-I’lam 2/302)
Dari pemaparan
diatas, sangat jelas bahwasanya para ulama terkhususnya para imam 4 menyatakan
bahwasanya mereka bukanlah dalil. Kalau mereka salah, maka harus ditinggalkan.
Kalau mereka menyelihi dalil dari Al-Quran dan hadits maka kita wajib
meninggalkan perkataan mereka dan wajib mengikuti dalil. Dan intinya kita haus
mengambil dari Al-Quran dan hadits.
2- Ternyata
dalam bab permasalahan ini, nash yang ada dari nabi shallallahu alaihi wa
sallam dan sahabat beliau adalah shalat seseorang tanpa tuma’ninah tidaklah sah.
Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ المَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ، فَصَلَّى، فَسَلَّمَ
عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَرَدَّ وَقَالَ: «ارْجِعْ فَصَلِّ،
فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ»، فَرَجَعَ يُصَلِّي كَمَا صَلَّى، ثُمَّ جَاءَ، فَسَلَّمَ
عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «ارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ
لَمْ تُصَلِّ» ثَلاَثًا، فَقَالَ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ،
فَعَلِّمْنِي، فَقَالَ: «إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا
تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ
ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ
ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam masuk
kedalam masjid dan kemudian seseorang juga masuk kedalam masjid, maka orang
tersebut shalat. Ketika selesai shalat, orang ini memberi salam kepada nabi dan
nabi membalasnya, kemudian nabi bersabda: “Ulangilah shalatmu, sesungguhnya
kamu belum shalat (shalatmu tidak sah)”. Kemudian orang tadi kembali dan
melakukan shalatnya. Kemudian dia mendatangi nabi dan memberi salam. Kemudian
nabi berkata: “Ulangilah shalatmu, sesungguhnya kamu belum shalat”. Hal
tersebut terulang 3 kali. Maka orang tadi berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu
dengan kebenaran, aku tidak bisa memperbaiki shalatku selain seperti ini, maka
ajarilah aku.” Maka nabi bersabda: “ Jika kamu tegak ingin melaksanakan shalat,
maka bertakbirlah. Kemudian bacalah Apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,
kemudian rukuklah sampai engkau tuma’ninah dalam keadaan ruku’. Kemudian
tegaklah sampai kamu lurus berdiri. Kemudian sujudlah sampai kamu tu,a’ninah
dalam keadaan sujud. Kemudian angkatlah badanmu sampai engkau tuma’ninah dalam
keadaan duduk, dan lakukanlah hal tersebut dalam seluruh shalatmu” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Lihatlah, nabi saja menyuruh orang untuk mengulangi
shalatnya yang tidak tuma’ninah karena hal shalatnya tidak sah.
Inilah yang namanya dalil, bahkan dalil yang sangat jelas
dari nabi dalam perkara yang sedang diperbincangkan.
Begitu pula dalil lain dari perkataan salah seorang
sahabat yakni Hudzaifah radhiyallahu anhu akan batalnya orang yang tidak tuma’ninah
dalam keadaan sujud dan ruku serta tidak menyempurnakan keduanya, Zaid bin Wahb
berkata:
رَأَى حُذَيْفَةُ
رَجُلًا لَا يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ، قَالَ: «مَا صَلَّيْتَ وَلَوْ مُتَّ
مُتَّ عَلَى غَيْرِ الفِطْرَةِ الَّتِي فَطَرَ اللَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَيْهَا
“Hudzaifah melihat seseorang yang tidak menyempurnakan
ruku’ dan sujud. Maka dia berkata: “Engkau belum melakukan shalat (shalatmu
tidak sah), seandainya engkau mati maka engkau mati menyelisihi fitrah yang
Allah fitrahkan kepada nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam” (HR.
Bukhari)
2 riwayat ini adalah dalil yang menjadi hujjah dalam
perkara yang diperbincangkan.
Adapun sang penulis yang saat ini sedang kami kritik,
maka dia sama sekali tidak membawakan dalil dari nabi shallallahu alaihi wa
sallam.
=> Adapun perkataannya bahwa “Imam Malik menganggap
bahwasanya tuma’ninah hanyalah sunnah”. Maka kita jawab:
Adakah dalilnya dari nabi? Justru yang ada bahwasanya
Tuma’ninah adalah rukun shalat yang harus dilakukan oleh seorang hamba. Dan itu
ada nashnya langsung dari nabi.
Kalau begitu, maka seharusnya sang penulis mengambil
nasihat Imam Malik yang kami paparkan pada point pertama:
إنما أنا بشر أخطئ
وأصيب ، فانظروا في رأيي ؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة ؛ فخذوه ، وكل ما لم يوافق الكتاب
والسنة ؛ فاتركوه
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, aku bisa salah
dan aku bisa benar. Maka lihatlah seluruh pendapatku. Maka apa saja yang sesuai
dengan Al-Quran dan sunnah maka ambillah, dan apa saja yang tidak sesuai dengan
Al-Quran dan sunnah maka tinggalkanlah” (Al-Jami’ 2/32)
Karena telah terbukti, bahwasanya pendapat Imam Malik
menyelisihi sunnah nabi, maka laksanakanlah nasihat Imam Malik untuk
meninggalkan perkataannya dan kembali kepada sunnah nabi. Begitu pula dengan
perkataan Abu Hanifah.
3- Pembahasannya “Tertinggal Fatihah Imam”. Itu bukanlah
perkara yang sedang diperbincangkan. Mengapa? Karena kalau kita melihat video
shalat tarawih super ngebut, imam ketika berdiri langsung membaca “Aamiin”.
Saya saja mencoba berlomba dengan imam yang ada di video dan hasilnya mustahil
saya mengejar bacaan Al-fatihahnyanya.
Maka terbukti, kalau mereka (imam dan makmum) tidak membaca
Al-Fatihah dengan benar, sedangkan membaca Al-Fatihah adalah rukun shalat,
tidak sah shalat seseorang yang tidak membacanya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ
لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ
“Tidak sah, shalat seseorang yang tidak membaca surat
Al-Fatihah” (HR. Bukhari)
4- Anjuran dan
renungan
Maka dari itu,
kalau sang imam mau meringankan shalat, maka ada tata caranya bukan sekehendak
hawa nafus dia.
Cukup dia
membaca surat-surat pendek dari juz 30 semisal. Itu sudah sangat cukup. Dan
tidak perlu maksa mau shalat 23 rakaat tenyata kayak kereta api dan tidak sah.
Alangkah baiknya, imam shalat dengan 11 rakaat namun sempurna dan sah.
Shalat itu
bukan hanya diukur dari kuantitasnya, Melainkan kualitas shalat jauh lebih
utama. Kualitas "Nol" apalah arti dari kauntitas.
Semoga yang
sedikit ini dapat membukan mata sang penulis yang sedang kami kritik. Allahu a’lam,
wa shallallahu alaa nabiyyinaa Muhammad.
Penulis: Muhammad Abdurrahman Al Amiry
Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.
Ikuti status kami dengan menekan tombol follow pada akun FB Muhammad Abdurrahman Al Amiry , dan tombol follow pada akun Twitter @ma_alamiry
0 komentar:
Posting Komentar